Di dalam weda, jaman di dalam kehidupan manusia kelompokan menjadai 4 jaman, yaitu Kerta Yuga atau Tirtha yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Dari ke empat jaman tersebut yang paling sering dibicarakan adalah jaman Kali Yuga. Banyak dari kita yang tidak mengerti, kenapa, kapan dan bagaimana jaman itu bisa beralih dari jaman yang satu ke jaman yang lainnya. Menurut pengamatan pedanda dan juga bersumber dari sastra - sastra agama yang pernah pedanda baca, sesungguhnya manusialah yang menyebabkan jaman itu berganti. Manusialah sebagai penentu kapan jaman Kali Yuga itu datang, kapan dia akan berakhir dan kapan jaman Kerta itu akan datang. Melalui tulisan ini pedanda ingin berbagi sebuah resep tentang bagaimana melewati jaman Kali Yuga ini.
Para leluhur kita telah memberi kita banyak sekali contoh, begitupula alam yang setiap saat memberi kita sinyal -sinyal, tetapi kita tidak mampu membaca contoh leluhur kita dan menangkap suara - suara alam. Salah satu contoh yang pedanda kemukakan adalah tentang filsafat kepiting dan seekor belut. Suatu ketika saat pedanda memberikan dharma wacana di Pura Candi Rawi di daerah Jembrana, sesaat setelah dharma wacana pedanda disuguhi makanan yang lauknya membuat pedanda sedikit heran. Yang pertama adalah seekor kepiting besar lengkap dengan capitnya, dan yang kedua adalah belut yang besar, sebesar ibu jari. Yang menghaturkan makanan tersebut mengatakan bahwa di daerah mereka jika menghaturkan rayunan pedanda maka diharuskan berisi kepiting dan belut, itu merupakan tradisi dan warisan leluhur yang ada di sana. Kira - kira apa artinya? Kenapa para leluhur kita sampai mewariskan tradisi seperti itu? Inilah yang pedanda katakan sebagai salah satu contoh yang berupa sinyal - sinyal dari alam. Pedanda mencoba memahami maksud yang terkandung dari warisan leluhur tersebut. Akhirnya penda memahami bahwa lauk kepiting itu bersumber dari cerita tantri yaitu kisah pedanda baka yang tewas di capit kepiting.
Jika para sulinggih melaksanakan swadharma dan paradharma beliau sesuai dengan aturan - aturan dan tatanan sastra maka jaman itu pastilah kerta. Karena secara tidak langsung keadaan seperti ini juga disebabkan oleh perilaku seorang sulinggih. Seperti dijelaskan dalam sastra "yan sira sang wiku tan nepeh kalinganing sastra, rug ikang rat" Jika para wiku selaku pemimpin umat tidak mentaati aturan sastra, maka hancurlan dunia ini. kalimat itu yang sering pedanda ingat. Sekarang ini banyak para sulinggih yang belum melaksanakan swadharmaning seorang sulinggih dengan benar. Ada kecenderungan posisi sulinggih menjadi semacam komuditas bermotif ekonomi. Banyak para sulinggih yang seolah-olah menempatkan diri sebagai produsen yang mengikuti alur umat yang ditempatkan dalam posisi konsumen. Suatu contoh sederhana saja, saat ada orang tangkil nunasin dewas nganten misalnya, walaupun menurut pewarigan belum ada hari baik untuk nganten tetapi karena permintaan umat yang lebih memikirkan efisiensi waktu maka banyak sulinggih yang memperbolehkan, padahal seharusnya sulinggihlah yang memberikan tatanan yang benar yang diikuti oleh umat, bukan sebaliknya.
Hidangan laut belut tadi juga membuat pedanda berfikir akan makna yang tersirat. Akhirnya pedanda melihat sebuat contoh dari kehidupan si belut yang layak kita teladani. Belut yang walaupun hidup didalam kubangan lumpur yang kotor ternyata tidak dilekati oleh kotornya lumpur tersebut. Begitu pula hendaknya manusia hidup, walaupun jaman seperti sekarang ini hendaknya kita tidak sampai kehilangan identitas dan jati diri.
Namun di jaman seperti sekarang ini yang disebut jaman kaliyuga, pengaruh godaan duniawi, kehidupan yang berputar sangat cepat membuat masyarakat bali semakin kehilangan jati diri dan kebanggaanya sebagai orang bali. Belum lagi pengaruh makanan yang sebagian besar mengandung zat berbahaya yang tentunya berimplikasi pada munculnya bermacam – macam penyakit sehingga kejernihan pikiran dan jiwapun semakin jauh rasanya.
Melihat kondisi seperti itu, apakan yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Pedanda ingin mengutip wejangan dari Ida Rsi Patanjali. Disaat beliau melaksanakan Samadhi di suatu tempat, beliau mendapatkan wahyu berupa intisari dari weda yang kemudian dikumpulkan menjadi Yoga. Yoga inilah satu–satunya obat yang bisa megembalikan eksistensi manusia sebagai seorang manusia. Manusia hanya akan bisa menjadi seorang manusia yang sesungguhnya hanya melalui yoga. Jaman sekarang ini banyak sekali manusia yang pedanda istilahkan hanya casing atau pembungkus luarnya saja yang manusia, ini karena nilai – nilai dan sifat – sifat luhur kemanusiaanya telah dikalahkan oleh keserakahan dan kesombongan. Keserakaan, kesombongan, iri hati dan aneka sifat buruk lainya ditambah dengan makanan yang tidak sehat dan berbahaya tentu merupakan sebuah mala petakan yang akan membawa manusia dalam kehancuran baik secara jasmani dan rohani. Yang terjadi hanyalah jiwa – jiwa yang terombang – ambing tanpa arah, tanpa tujuan, tidak mengenali diri sendiri bagaikan lingkaran kesedihan tiada tepi. Maka dengan itu pedanda menghimbau agar seluruh umat hendaknyalah mempelajari yoga dan meditasi agar mampu melewati jaman kaliyuga ini.
Kenapa mesti yoga?
Jika pedanda analogikan manusi sepeti sebuah ember, maka fisik manusia adalah embernya dan jiwa serta pikiran adalah air di dalam ember tersebut. Jika fisik sudah hancur, airnya keruh dan kotor maka mustahil akan bisa menampakan bayangan bulan. Jika kondisi tubuh manusia tidak sehat maka pikiran dan jiwanya juga tidak akan bisa berfikir sehat. Yoga mampu merekonstruksi fisik manusia, baik itu otot, urat, syafat dan juga pikiran dan jiwa manusia. Seperti kata pepatah, bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, begitulah yoga yang mampu merekronstuksi fisik dan jiwa manusia sehingga kembali seperti semula sebagai seorang manusia sejati.
Banyak umat manusia yang tidak menyadari bahwa setiap bagian tubuh kita menyimpan jutaan macam kombinasi gerak. Karena kesibukan, pola hidup yang tidak sehat, kurang olah raga maka sebagian besar program kombinasi gerak tersebut tidak pernah digunakan, sehingga otot menjadi kaku, urat menjadi tegang dan aliran darah pun menjadi tidak lancar yang tentunya berujung pada bermunculnya bermacam penyakit. Jika tubuh sudah tidak sehat (menahan rasa sakit) tentu pikiran pun tidak akan tenang dan jiwapun akan bergejolak. Disaat seperti itu maka mustahil bagi kita untuk melakukan perjalanan spirituan kedalam jiwa.
Yoga tidak semata – mata hanya olah tubuh, tetapi yoga adalah adalah satu rangkaian berkesinambungan antara olah tubuh (asana), olah pernafasan yang bertujuan untuk mensehatkan fisik dengan meditasi dan rangkaian tahapan pengendalian indria hingga pencerahan spiritual.
Semua ciptaan Tuhan ditata berdasarkan hukum utpati (tercipta), sthiti (hidup terpelihara) dan pralina (lenyap kembali kepada asalnya). Alam dan isinya ini, setelah masanya selesai beredar dan berputar-putar, akan pralina atau pralaya.
Istilah kiamat memang tidak dijumpai dalam ajaran Hindu, karena memang itu bukan bahasa Sansekerta, bahasa yang dipakai dalam ajaran Hindu. Namun, yang sejajar dengan konsep kiamat adalah konsep pralina atau pralaya yang ada dalam kitab-kitab Purana. Dalam kitab-kitab Purana, utpati, sthiti dan pralina dibahas secara khusus. Memang terdapat sedikit perbedaan antara Purana satu dan Purana lainnya mengenai konsep ini. Namun, secara umum menyangkut hal-hal yang substansial tentang pralaya, semua Purana isinya sama, bahwa semua ciptaan Tuhan ini kena hukum TRI KONA yaitu utpati, sthiti dan pralina itu.
Empat Konsep Pralaya
Konsep pralaya dalam Wisnu dan Brahma Purana ada dinyatakan empat konsep pralaya yaitu:
* Nitya Pralaya yaitu proses kematian yang terjadi setiap hari dari semua makhluk hidup. Bahkan dalam diri manusia pun setiap detik ada sel tubuhnya yang mati dan diganti dengan sel baru. Sel tubuh manusia terjadi utpati, sthiti dan pralina.
*Naimitika pralaya adalah pralaya yang terjadi dalam satu periode manu. Menurut pandangan ini akan terjadi pralaya terbatas dalam setiap akhir manwantara. Ini artinya akan terjadi 14 kali naimitika pralaya atau kiamat terbatas atau kehancuran alam secara terbatas.
* Prakrtika Pralaya yaitu terjadinya pralaya secara total setelah manwantara ke-14. Saat terjadinya Prakrtika Pralaya, seluruh alam semesta beserta isinya lenyap dan kembali pada Brahman atau Tuhan Yang Mahaesa dalam waktu yang panjang atau satu malamnya Brahma. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manwantara pertama lagi. Prakrtika Pralaya inilah yang mungkin identik dengan konsep kiamat menurut kepercayaan lainnya. Karena, semua unsur alam dengan segala isinya kembali pada Brahman. Menurut keyakinan Hindu, hanya Tuhanlah yang kekal abadi. Tapi gambaran dan keadaan mahapralaya sangat berbeda dengan gambaran dan keadaan hari Kiamat. Hari Kiamat digambarkan sebagai kehancuran dasyat yang membawa siksa dan penderitaan tiada taranya bagi manusia. Mahapralaya digambar dengan sangat berbeda: Brahman adalah kebahagian; sebab dari kebahagiaan semua mahluk hidup, dalam kebahagiaan mereka semua hidup, dan ke dalam kebahagiaan mereka semua kembali”!. (Tattiriya Upanishad). Seperti seorang meninggal dengan tenang pada usia tua.
* Atyantika Pralaya yaitu pralaya yang disebabkan oleh kemampuan spiritualnya melalui suatu pemberdayaan jnana yang amat kuat sehingga seluruh dirinya masuk secara utuh lahir batin kepada Tuhan Brahman.
b. Kapan Pralaya menurut Hindu?
Dalam kitab Brahma Purana, dinyatakan satu hari Brahman (satu kalpa) atau satu siang dan satu malamnya Tuhan lamanya 14 manwantara. Satu manwantara = 71 maha yuga. Satu maha yuga = empat zaman yaitu kerta, treta, dwapara dan kali yuga. Satu maha yuga = 4,32 juta tahun manusia.
Sekarang peredaran alam semesta sedang berada pada manwantara ketujuh dibawah pimpinan Vaivasvata Manu. Ini artinya pralaya atau kiamat total akan terjadi setelah manu ke-14 berakhir (14×71×10000×432=4.294.800.000 tahun manusia). Manu ke-14 adalah Suci sebagai Indra Savarni Manu.
Ada 2 sisi yang kontradiktif antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama : Believing is Seeing (percaya dulu baru bisa melihat), Science : Seeing is Believing (melihat dulu baru bisa percaya). Oleh karena itu, semua dikembalikan pada kita, karena semua perhitungan di atas diluar kemampuan manusia.
Demikianlah konsep pralaya (semacam kiamat) menurut Hindu. Yakinlah, pralaya dalam arti Prakrtika Pralaya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, apalagi dinyatakan akhir tahun ini atau 21-12 tahun 2012 mendatang. Sedangkan Nitya Pralaya akan terjadi dalam setiap hari, ada makhluk hidup yang mati dan ada yang lahir.
c. Bagaimana menyikapi jaman Kali?
Lalu, jika memang kiamat itu akan datang, baik dalam waktu dekat ataupun kapan pun datangnya, apakah kita harus khawatir?
Jawabnya adalah : TIDAK. Mengapa?
Dalam Bhagavadgita 4.7 disampaikan :
yada yada hi dharmasya
glanir bhavati bharata
abhyutthanam adharmasya
tadatmanam srjam y aham
Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, pada waktu itulah Aku (Tuhan) sendiri turun untuk menegakkannya kembali”
Jadi disana jelas disebutkan bahwa Tuhan akan turun (mengambil wujud ) setiap terjadi kemerosotan Dharma , kondisi ini akan terjadi terus menerus tidak berhenti pada suatu titik tapi terus terjadi sesuai dengan siklus waktu.
Dalam Bhagavata Purana (1.1.10) disampaikan
präyeëälpäyuñaù sabhya
kaläv asmin yuge janäù
mandäù sumanda-matayo
manda-bhägyä hy upadrutäù
“Wahai orang-orang yang terpelajar,
dalam jaman Kali, atau jaman besi,
umur manusia sangat pendek.
Mereka suka bertengkar, malas, mudah
disesatkan (salah pimpin), bernasib
malang, dan diatas segala-galanya,
mereka selalu gelisah.”
Berikutnya kami kutipkan dari Manawa Dharmasastra, I.86
Tapah param krta yuge
Tretayam jnanamuscyate.
Dwapare yajnaewahur
Danamekam kalau yuge.
Artinya: Pada zaman Kerta Yuga, dengan bertapalah cara beragama yang paling utama. Zaman Treta Yuga, beragama dengan mengamalkan ilmu pengetahuan suci (jnana) itulah yang paling utama. Zaman Dwapara, yadnya-lah yang paling utama. Sedangkan pada zaman Kali Yuga, dana punia-lah cara beragama yang paling utama.
Untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga itu, Swami Satya Narayana menyatakan agar manusia berperilaku seperti zaman atau mengikuti yuga sebelumnya. Misalnya, pada zaman treta, Sri Rama dan para pengikutnya berperilaku mengikuti zaman kerta yuga meskipun Sri Rama hidup pada zaman treta yuga. Sedangkan Rahwana berperilaku seperti zaman kali. Karena itu, Sri Rama dengan pengikutnya selamat hidup di bawah lindungan dharma dan Rahwana hancur karena hidup berdasarkan adharma.
Demikian juga Pandawa dengan Sri Krisna hidup pada zaman dwapara yuga, tetapi perilakunya mengikuti zaman kerta dan treta yuga. Dengan demikian Pandawa dan Sri Krisna memenangkan hidup berdasarkan dharma, sedangkan Korawa hancur karena mengikuti cara hidup yang adharma.
Demikianlah kini, kalau ingin selamat dari pengaruh zaman kali, hiduplah seperti zaman dwapara. Bahkan kalau bisa, ikuti treta atau kerta, maka akan selamatlah dari pengaruh buruk zaman kali. Justru pengaruh baiknya yang akan didapatkan.
|
No comments:
Post a Comment